Label

Kamis, 25 Oktober 2012

EKSISTENSI HUKUM ADAT DI PARIAMAN


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LatarBelakang
Banyaknya dampak negatif dari globalisasi membuat saya tertarik untuk menulis makalah ini. Adat merupakan warisan budaya nenek moyang yang harus kita lestarikan dari generasi ke generasi. Tapi dewasa ini sebagian besar masyarakat Indonesia mulai melupakan hukum adat di daerahnya masing-masing. Oleh karena itu dengan penjabaran berikut saya harap dapat menumbuhukan kesadaran kita agar lebih memperhatikan hukum adat yang ada disekitar kita.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apakah hukum adat itu masih hidup dalam pergaulan hidup masyarakat?
2.      Masih dipatuhikah hukum adat tersebut….?


BAB II
PEMBAHASAN

Seiring dengan perkembangan waktu, eksistensi hukum adatu mulai memudar tapi tidak sama halnya di pariaman. Hukum adat masih berlaku di pariaman bahkan hukum adat merupakan salah satu hukum positif yang berlaku.
Beberapa hukum adat yang berlaku diantaranya :
1.      Pernikahan
a.       Pinang Meminang
Pinang maminang, berasal dari cara dan tata kelakuan masyarakat dalam mengajukan sesuatu permintaan kepada bakal calon pasangan hidup. Berawal dari kata “ pinang” yang dibawa beserta sirih dalam cerana pada saat berkunjung ketempat kediaman bakal calon pasangan. Kebiasaan ini kemudian berkembang secara dalam formal dalam mencari jodoh sebagaimana yang kita kenal dengan pinang meminang.
Di Ranah Minang kebiasaan mengajukan pinang meminang, lazimnya diprakarsai oleh kerabat wanita. Proses pinang meminang merupakan hasil – manyalangkan mato – maresek, setelah diperoleh informasi seputar bakal calon pasangan. Proses pinang meminang antar kedua pihak keluarga, dilakukan pula beberapa kali pertemuan, untuk merekam keinginan-keinginan pihak keluarga lelaki atas hal-hal yang menjadi persyaratan yang harus di-isi oleh pihak wanita, agar ketika kesesuaian dalam perjodohan ini tidak mendapat gangguan atau kekecewaan kelak dikemudian hari.
Isi, artinya mengisi sesuatu yang diminta dan diinginkan oleh pihak keluarga laki-laki. Misalnya didaerah rantau atau pesisir Padang Pariaman berlaku ketentuan yang akan diisi adalah uang jemputan, uang dapur, biaya pendidikan dll.

b.      Melamar
Pada hari yang telah ditentukan, pihak keluarga anak gadis yang akan dijodohkan itu dengan dipimpin oleh Ninik mamaknya, datang bersama-sama kerumah keluarga calon pemuda yang dituju. Lazimnya untuk acara pertemuan resmi pertama ini, diikuti oleh ibu dan ayah si gadis dan diiringkan oleh beberapa orang wanita yang patut-patut dari keluarganya. Dan biasanya rombongan yang datang juga telah membawa seorang juru bicara yang mahir berbasa-basi dan fasih berkata-kata, jika sekiranya Ninik Mamak yang akan melamar itu, bukan orang ahli untuk itu.

c.       Batimbang Tando
Batimbang tando adalah upacara pertunangan. Saat dilakukan pertukaran tando bahwa telah berjanji menjodohkan anak kemenakan mereka. Benda yang dijadikan pertukaran pada umumnya adalah cincin emas. bila  seorang pertunanganan itu putus, pihak yang memutuskan akan mengembalikan tanda yang diterima dahulu. Pihak lain tidak berkewajiban mengembalikannya.

d.      Malam Bainai
Acara ini dilaksanakan dirumah anak daro. Diadakan sehari atau beberapa hari sebelum hari pernikahan. Bainai adalah memerahkan kuku pengantin dengan daun inai yang telah dilumatkan. Bainai semata-mata diihadiri perempuan dari kedua belah pihak. Marapulai dibawa kerabatnya kerumah anak daro.
Ketika acara akan dimulai, anak daro dibawa dari kamarnya keruangan yang telah dipasang pelaminan. Ia didudukan disebelah marapulai. Keduanya memakai pakaian pengantin yang lebih sederhana dari hari “H”. Acara dipimpin seorang wanita yang terampil untuk melakukan tugas itu. Anak daro diinai oleh kerabat marapulai sedangkan marapulai diinai oleh kerabat anak daro.

e.       Pernikahan
Pernikahan dilakukan pada hari yang dianggap paling baik. Acara ini lazim diadakan dirumah anak daro. Dalam acara pernikahan marapulai dan anak daro tidak dihadirkan berhadap-hadapan., sebab yang mengucapkan akad hanyalah marapulai kepada ayah (wali) anak daro. Anak daro hanyalah menyatakan persetujuan kepada saksi yang datang menanyainya.

f.       Basandiang
Basandiang adalah acara pokok dalam perkawinan menurut adat. Basandiang yaitu mendudukan kedua pengantin di pelaminan untuk disaksikan tamu-tamu yang hadir pada pesta jamuan.
Sebelum basandiang marapulai dijemput kerumah kerabatnya. Waktu itu segala ketentuan adat perkawinan harus dipenuhi sebagaimana yang disepakati sebelumnya. Kerabat anak daro mengirim utusan untuk menjemput marapulai. Dirumah marapulai sudah siap menanti. Setelah itu acara makan-makanpun dimulai kemudian barulah pihak anak daro menyampaikan maksud kedatangan mereka dengan pidato sambah-manyambah. Selesai pidato itu barulah marapulai dibawa  kerumah anak daro. Dirumah anak daro kedua pengantin didudukan basandiang di pelaminan.

g.      Perjamuan
Upacara perjamuan merupakan puncak dari perhelatan. Acara ini dipusatkan dirumah anak daro. Oleh karena itu segala keperluan dan persiapan dilakukan oleh pihak anak daro. Untuk melaksanakan acara ini seluruh kerabat datang membantu. Bantuan ini dapat berupa benda dan tenaga. Para tetangga biasanya membantu dengan tenaga.

h.      Manjalang
Meski tidak lagi sekental suasana puluhan tahun lalu, pemandangan tadi yang ini dikenal sebagai tradisi ‘manjalang’ atau mengantarkan makanan ke rumah sanak keluarga terutama ke tempat mertua, masih merupakan tradisi ‘wajib’.
Tradisi ‘manjalang’ di berbagai daerah di Sumbar sangat beragam sebutannya, ada yang menyebutnya dengan “menganta konji” (mengantar penganan kolak), “babuko basamo jo mintuo” (berbuka bersama mertua) dan lain sebagainya.
Baik ‘manjalang’ maupun ‘manganta konji’ tujuannya tetap sama yaitu mendekatkan silaturahmi antara keluarga, anak dengan orang tua, cucu dengan nenek dan istri dengan mertua. Hal tersebut tentunya, tidak terlepas dari sistem ‘matrilinial’ di mana garis keturunan justru berasal dari tali darah perempuan, katanya.
Karena sang suami menetap bersama keluarga istri, sehingga sulit bisa meluangkan waktu bisa bertemu dengan orang tuanya walaupun terkadang masih berada di kota yang sama.
Kerinduan orang tua terhadap putra dan cucunya semakin menjadi apabila mereka tinggal berjauhan dan anaknya juga jarang pulang ke rumah.
Di samping itu, katanya, kesempatan ‘manjalang’ merupakan saat yang tepat bagi sang menantu mengambil hati mertua, karena keberadaan lelaki di Minang merupakan tonggak penerus tradisi keluarga.
Seorang mertua akan merasakan kebahagian dan kebanggaan tersendiri bila menantu, anak dan cucunya tiba di rumah. Ditambah lagi bila rantang dan bungkusan sang menantu penuh makanan dan beragam kue.
Kebahagian orang tua itu akan lebih penuh lagi, bila sang menantu santun pada mertua, pandai melayani suami dan penyayang terhadap anaknya. Tak cukup sampai di situ, sang menantu pun harus rajin membantu mertua dan tidak boleh hanya duduk saja bersama suami dan anaknya. Ia menambahkan, sang ibu mertua biasanya akan berbasa-basi, kalau menantu jangan ikut menyiap kan menghidangkan makanan dan minuman yang dibawa tadi untuk disantap bersama, padahal itu hanya untuk mencoba sampai di mana rasa hormat dan penghargaan terhadap mertua.
Ujian lain yang harus diperhatikan seorang menantu adalah ia harus bersiap mencuci piring dan membersihkan semua bekas makanan bila telah selesai bersantap.
Puncaknya, acara ‘manjalang’ yang berlangsung sore sebelum berbuka sampai saat shalat tarawih tersebut, sang menantu harus meminta maaf dan doa restu menghadapi tibanya hari lebaran. Penganan yang dibawa ke rumah mertua tidak bisa berupa makanan yang sembarangan saja. Makanan tersebut harus yang pilihan dan memenuhi bebagai persyaratan. Di samping membawa nasi dan berbagai menu makanan seperti rendang, gulai ikan, goreng ikan, ikan bakar, sup, dendeng dan kaliyo jengkol, ada juga penganan ringan serta buah-buahan. Kemudian menu berbuka puasa diwajibkan cende (bubur beras yang dibuat bulat) atau konji (kolak), dan agar-agar. Ada juga yang membawa kue-kue beking (sejenis bolu) dan lemang pulut dengan tapai ketan.
Tidak hanya ragam makanan yang harus dipersiapkan, tetapi bahan dan kualitasnya harus yang terbaik. Apabila membawa ikan bakar atau ayam bakar, maka ikan dan ayam tersebut haruslah yang terbesar.
2.      Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan disana dinamakan Matrilineal yaitu hubungan keturunan yang diambil dari garis keturunan ibu. Tidak hanya di Pariaman, dalam sistem kekerabatan matrilinial di Minangkabau, pihak keluarga ayah tidak banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam lingkungan keluarga . Ada beberapa nama-nama suku yang ada disana dan tentunya berasal dari ibu seperti Tanjung, Koto, Piliang, Jambak, Caniago, Sikumbang, dll.

3.      Pewarisan harta pusaka
Warisan dan tanah pusaka semua diturunkan pada pihak wanita. Sedangkan laki-laki tidak memiliki hak didalamnya. Tetapi lain halnya jika ada seorang laki-laki ingin memanfaatkan tanah pusaka milik saudara perempuannya contohnya bisa dilakukan dengan cara menanami tanaman palawija (ubi, kacang, coklat, kopi jagung), hasilnya bisa dimanfaatkan olehnya tetapi tanah bukan menjadi hak miliknya. Dan satu hal jika saudara perempuannya ingin meminta sebagian hasil dari tanaman (berupa uang), saudara laki-laki tersebut berkewajiban untuk memberikan.

4.      Sebutan / cara memanggil untuk sanak keluarga Panggilan untuk keluarga ayah dan ibu memiliki beberapa perbedaan seperti:
·         Sebutan untuk paman : Kakak atau adik dari pihak ibu (paman) disebut mamak. Ada beberapa sebutan diantaranya mak’adang (untuk paman yang paling tua), mak’andah (paman yang paling pendek tubuhnya), mak’uniang (paman yang berkulit kuning), mak’etek(paman yang paling kecil),dll.
Sedangkan dari pihak ayah (semua sama sebutannya yaitu apak disertai dengan namanya
·         Sebutan untuk isteri paman : Panggilan untuk isteri paman dari pihak ibu disebut mintuo, sedangkan dari pihak ayah bisa kita panggil etek.

5.      Gelar laki-laki yang sudah menikah
Laki-laki yang berasal dari Pariaman ketika susah menikah, lantas ia akan mempunyai nama gelar. Gelar tersebut berasal dari ayah. Beberapa gelar diantaranya Sutan, Bagindo, dan Sidi. Keluarga dari isteri mereka harus memanggil dengan gelar tersebut.

6.      Pesta Tabuik
Pesta Tabuik merupakan tradisi masyarakat Pariaman dalam memeriahkan tahun baru Islam dan digelar selama 10 hari dengan puncaknya disaat matahari terbenam, kedua tabuik dibuang kelaut dibawah suatu upacara yang meriah. Tabuik adalah sebuah benda berbentuk beranda bertingkat tiga yang terbuat dari kayu, rotan dan bambu. Berat Tabuik kira-kira sekitar 500 kilogram dengan ketinggian 15 meter.
Pada prinsipnya orang minang mengklasifikasikan adat menjadi empat macam yakni adat nan sabana adat (adat sebenar adat), adat nan diadatkan(adat yang diadatkan), adat nan taradat (adat yang beradat) dan adat istiadat.
Pada umumnya bajapuik (dijemput) merupakan tradisi yang dilakukan oleh orang minang dalam prosesi adat perkawinan, karena dalam sistem matrilineal posisi suami (urang sumando) merupakan orang datang. Oleh karena itu, datang karano dipanggia – tibo karano dianta diwujudkan kedalam bentuk prosesi bajapuik dalam perkawinan. Namun, di pariaman prosesi ini diinterpretasikan kedalam bentuk tradisi bajapuik, yang melibatkan barang-barang yang bernilai seperti uang. Sehingga kemudian dikenal dengan uang japuik, agiah jalang dan uang hilang.
Secara teori tradisi bajapuik ini mengandung makna saling harga menghargai antara pihak perempuan  dengan pihak laki-laki. Ketika laki-laki dihargai dalam bentuk uang japuik, maka sebaliknya pihak perempuan dihargai dengan uang japuik yang dilebihkan atau dinamakan dengan agiah jalang. Kabarnya, dahulu kala, pihak laki-laki akan merasa malu kepada pihak perempuan jika nilai agiah jalangnya lebih rendah dairpada nilai uang japuik yang telah mereka terima, tapi sekarang yang terjadi malah sebaliknya. Makna saling menghargai inilah yang menjadi prinsip dasar dari tradisi bajapuik.
Namun, dalam realitasnya yang terjadi terdapat jurang yang tajam antara teori dan prakteknya. Tradisi yang dilaksanakan oleh masayarakat hingga kini sudah jauh berbeda dengan prinsip dasarnya. Jika sebelumanya nilai agiah jalang melebihi uang japuik, maka dalam prakteknya sekarang nilai agiah jalang malah lebih rendah dari pada nilai uang japuik. Bahkan dalam perkembangnya muncul pula istilah yang disebut dengan uang hilang (uang dapur). Uang hilang ini merupakan pemeberian uang atau barang oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki, yang sepenuhnya milik laki-laki yang tidak dapat dikembalikan.
Uang hilang yang sudah diberikan kepada pihak laki-laki tidak dapat dikembalikan, apapun yang terjadi baik pada masa pra nikah maupun pasca nikah. Pihak perempuan tidak dapat menuntuk pengembalian, jika pihak laki-laki membatalkan dan mengambil uang hilang.
Sedangkan uang japuik, dimana secara hukum adat, apabila ikatan pertunangan dibatalkan oleh salah satu pihak, maka pihak yang membatalkan ikatan pertunangan diharuskan membayar dana sebesar uang japuik atau disebut juga dengan lipek tando (uang denda).
Fakta dilapangan mencatat bahwasanya perbedaan antara uang japuik dan uang hilang semakin samar, sehingga masyarakat hanya mengenal uang hilang (uang dapur) dalam tradisi bajapuik. Bisanya uang hilang ini digunakan oleh pihak laki-laki-untuk membiaya resepsi pernikahan, seperti untuk biaya makananan, biaya pelaminan, tenda dan perangkat hiburan dll. Disamping itu, sebagian kecil disisihkan untuk membeli perhiasan untuk agiah jalang sebagai barang yang akan diberikan kepada pihak perempuan dalam prosesi manjalang.
Semakin tinggi status sosial seseorang, maka semakin banyak biaya resepsi pernikanya. Dengan kondisi tersebut pada akhirnya status sosial dan status pendidikan mempengaruhi jumlah uang hilang yang akan diterima oleh pihak laki-laki. Sayangnya fenomena ini semakin berkembang dalam tradisi bajapuik, sehingga tak mengherankan jika seorang yang status sosialnya tinggi akan dinilai dengan nilau uang hilang yang tinggi.
Disisi lain, tradisi bajapuik ini dinggap tidak bertentang dengan ajaran dalam islam yang mengaharuskan laki-laki membayar mahar kepada perempuan. Disamping melaksanakan tradisi bajapuik yang dianggap hanya sebagai hadiah perkawinan, masyarakat pariaman tetap membayar mahar sesuai dengan ajaran islam.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil adalah disetiap daerah masih ada berlaku hukum adat walaupun sudah sedikit memudar dikalangan masyarakat. Tp masih ada yang menggunakan hukum adat tersebut. Seperti didaerah Pariaman yang sampai sekarang masih memakai hukum adat :
·         Pernikahan
·         Sistem Kekerabatan
·         Pewarisan harta pusaka
·         Sebutan / cara memanggil untuk sanak keluarga
·         Gelar laki-laki yang sudah menikah
·         Pesta Tabuik
B.     Saran
       Dengan melihat kesadaran yang masih melestarikan adat nya ini, sebaiknya didaerah lain pun ikut meniru. Dengan cara terus membudayakan adatnya dan tidak pernah melupakan hukum adat didaerahnya.
       Kesadaran masyarakat sangat dibutuhkan untuk pelestarian adat kita. Agar ciri khas bangsa kita tetap terpandang dimata dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar