BAB
I
PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
Banyaknya
dampak negatif dari globalisasi membuat saya tertarik untuk menulis makalah
ini. Adat merupakan warisan budaya nenek moyang yang harus kita lestarikan dari
generasi ke generasi. Tapi dewasa ini sebagian besar masyarakat Indonesia mulai
melupakan hukum adat di daerahnya masing-masing. Oleh karena itu dengan
penjabaran berikut saya harap dapat menumbuhukan kesadaran kita agar lebih
memperhatikan hukum adat yang ada disekitar kita.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Apakah
hukum adat itu masih hidup dalam pergaulan hidup masyarakat?
2. Masih
dipatuhikah hukum adat tersebut….?
BAB
II
PEMBAHASAN
Seiring dengan
perkembangan waktu, eksistensi hukum adatu mulai memudar tapi tidak sama halnya
di pariaman. Hukum adat masih berlaku di pariaman bahkan hukum adat merupakan
salah satu hukum positif yang berlaku.
Beberapa hukum adat yang berlaku
diantaranya :
1.
Pernikahan
a. Pinang
Meminang
Pinang maminang,
berasal dari cara dan tata kelakuan masyarakat dalam mengajukan sesuatu
permintaan kepada bakal calon pasangan hidup. Berawal dari kata “ pinang” yang
dibawa beserta sirih dalam cerana pada saat berkunjung ketempat kediaman bakal
calon pasangan. Kebiasaan ini kemudian berkembang secara dalam formal dalam
mencari jodoh sebagaimana yang kita kenal dengan pinang meminang.
Di Ranah Minang
kebiasaan mengajukan pinang meminang, lazimnya diprakarsai oleh kerabat wanita.
Proses pinang meminang merupakan hasil – manyalangkan mato – maresek, setelah
diperoleh informasi seputar bakal calon pasangan. Proses pinang meminang antar
kedua pihak keluarga, dilakukan pula beberapa kali pertemuan, untuk merekam
keinginan-keinginan pihak keluarga lelaki atas hal-hal yang menjadi persyaratan
yang harus di-isi oleh pihak wanita, agar ketika kesesuaian dalam perjodohan
ini tidak mendapat gangguan atau kekecewaan kelak dikemudian hari.
Isi, artinya
mengisi sesuatu yang diminta dan diinginkan oleh pihak keluarga laki-laki.
Misalnya didaerah rantau atau pesisir Padang Pariaman berlaku ketentuan yang
akan diisi adalah uang jemputan, uang dapur, biaya pendidikan dll.
b.
Melamar
Pada hari yang
telah ditentukan, pihak keluarga anak gadis yang akan dijodohkan itu dengan
dipimpin oleh Ninik mamaknya, datang bersama-sama kerumah keluarga calon pemuda
yang dituju. Lazimnya untuk acara pertemuan resmi pertama ini, diikuti oleh ibu
dan ayah si gadis dan diiringkan oleh beberapa orang wanita yang patut-patut
dari keluarganya. Dan biasanya rombongan yang datang juga telah membawa seorang
juru bicara yang mahir berbasa-basi dan fasih berkata-kata, jika sekiranya
Ninik Mamak yang akan melamar itu, bukan orang ahli untuk itu.
c. Batimbang
Tando
Batimbang tando adalah
upacara pertunangan. Saat dilakukan pertukaran tando bahwa telah berjanji
menjodohkan anak kemenakan mereka. Benda yang dijadikan pertukaran pada umumnya
adalah cincin emas. bila seorang
pertunanganan itu putus, pihak yang memutuskan akan mengembalikan tanda yang
diterima dahulu. Pihak lain tidak berkewajiban mengembalikannya.
d. Malam
Bainai
Acara ini dilaksanakan
dirumah anak daro. Diadakan sehari atau beberapa hari sebelum hari pernikahan.
Bainai adalah memerahkan kuku pengantin dengan daun inai yang telah dilumatkan.
Bainai semata-mata diihadiri perempuan dari kedua belah pihak. Marapulai dibawa
kerabatnya kerumah anak daro.
Ketika acara akan dimulai,
anak daro dibawa dari kamarnya keruangan yang telah dipasang pelaminan. Ia
didudukan disebelah marapulai. Keduanya memakai pakaian pengantin yang lebih
sederhana dari hari “H”. Acara dipimpin seorang wanita yang terampil untuk
melakukan tugas itu. Anak daro diinai oleh kerabat marapulai sedangkan
marapulai diinai oleh kerabat anak daro.
e. Pernikahan
Pernikahan dilakukan
pada hari yang dianggap paling baik. Acara ini lazim diadakan dirumah anak
daro. Dalam acara pernikahan marapulai dan anak daro tidak dihadirkan
berhadap-hadapan., sebab yang mengucapkan akad hanyalah marapulai kepada ayah
(wali) anak daro. Anak daro hanyalah menyatakan persetujuan kepada saksi yang
datang menanyainya.
f. Basandiang
Basandiang adalah acara
pokok dalam perkawinan menurut adat. Basandiang yaitu mendudukan kedua
pengantin di pelaminan untuk disaksikan tamu-tamu yang hadir pada pesta jamuan.
Sebelum basandiang
marapulai dijemput kerumah kerabatnya. Waktu itu segala ketentuan adat
perkawinan harus dipenuhi sebagaimana yang disepakati sebelumnya. Kerabat anak
daro mengirim utusan untuk menjemput marapulai. Dirumah marapulai sudah siap
menanti. Setelah itu acara makan-makanpun dimulai kemudian barulah pihak anak
daro menyampaikan maksud kedatangan mereka dengan pidato sambah-manyambah.
Selesai pidato itu barulah marapulai dibawa
kerumah anak daro. Dirumah anak daro kedua pengantin didudukan
basandiang di pelaminan.
g. Perjamuan
Upacara perjamuan
merupakan puncak dari perhelatan. Acara ini dipusatkan dirumah anak daro. Oleh
karena itu segala keperluan dan persiapan dilakukan oleh pihak anak daro. Untuk
melaksanakan acara ini seluruh kerabat datang membantu. Bantuan ini dapat
berupa benda dan tenaga. Para tetangga biasanya membantu dengan tenaga.
h. Manjalang
Meski tidak
lagi sekental suasana puluhan tahun lalu, pemandangan tadi yang ini dikenal
sebagai tradisi ‘manjalang’ atau mengantarkan makanan ke rumah sanak keluarga
terutama ke tempat mertua, masih merupakan tradisi ‘wajib’.
Tradisi ‘manjalang’ di berbagai daerah di Sumbar sangat beragam sebutannya, ada yang menyebutnya dengan “menganta konji” (mengantar penganan kolak), “babuko basamo jo mintuo” (berbuka bersama mertua) dan lain sebagainya.
Baik ‘manjalang’ maupun ‘manganta konji’ tujuannya tetap sama yaitu mendekatkan silaturahmi antara keluarga, anak dengan orang tua, cucu dengan nenek dan istri dengan mertua. Hal tersebut tentunya, tidak terlepas dari sistem ‘matrilinial’ di mana garis keturunan justru berasal dari tali darah perempuan, katanya.
Tradisi ‘manjalang’ di berbagai daerah di Sumbar sangat beragam sebutannya, ada yang menyebutnya dengan “menganta konji” (mengantar penganan kolak), “babuko basamo jo mintuo” (berbuka bersama mertua) dan lain sebagainya.
Baik ‘manjalang’ maupun ‘manganta konji’ tujuannya tetap sama yaitu mendekatkan silaturahmi antara keluarga, anak dengan orang tua, cucu dengan nenek dan istri dengan mertua. Hal tersebut tentunya, tidak terlepas dari sistem ‘matrilinial’ di mana garis keturunan justru berasal dari tali darah perempuan, katanya.
Karena sang
suami menetap bersama keluarga istri, sehingga sulit bisa meluangkan waktu bisa
bertemu dengan orang tuanya walaupun terkadang masih berada di kota yang sama.
Kerinduan orang tua terhadap putra dan cucunya semakin menjadi apabila mereka tinggal berjauhan dan anaknya juga jarang pulang ke rumah.
Kerinduan orang tua terhadap putra dan cucunya semakin menjadi apabila mereka tinggal berjauhan dan anaknya juga jarang pulang ke rumah.
Di samping
itu, katanya, kesempatan ‘manjalang’ merupakan saat yang tepat bagi sang
menantu mengambil hati mertua, karena keberadaan lelaki di Minang merupakan tonggak
penerus tradisi keluarga.
Seorang
mertua akan merasakan kebahagian dan kebanggaan tersendiri bila menantu, anak
dan cucunya tiba di rumah. Ditambah lagi bila rantang dan bungkusan sang
menantu penuh makanan dan beragam kue.
Kebahagian
orang tua itu akan lebih penuh lagi, bila sang menantu santun pada mertua,
pandai melayani suami dan penyayang terhadap anaknya. Tak cukup sampai di situ,
sang menantu pun harus rajin membantu mertua dan tidak boleh hanya duduk saja
bersama suami dan anaknya. Ia menambahkan, sang ibu mertua biasanya akan
berbasa-basi, kalau menantu jangan ikut menyiap kan menghidangkan makanan dan
minuman yang dibawa tadi untuk disantap bersama, padahal itu hanya untuk
mencoba sampai di mana rasa hormat dan penghargaan terhadap mertua.
Ujian lain yang harus diperhatikan seorang menantu adalah ia harus bersiap mencuci piring dan membersihkan semua bekas makanan bila telah selesai bersantap.
Ujian lain yang harus diperhatikan seorang menantu adalah ia harus bersiap mencuci piring dan membersihkan semua bekas makanan bila telah selesai bersantap.
Puncaknya,
acara ‘manjalang’ yang berlangsung sore sebelum berbuka sampai saat shalat
tarawih tersebut, sang menantu harus meminta maaf dan doa restu menghadapi
tibanya hari lebaran. Penganan yang dibawa ke rumah mertua tidak bisa berupa
makanan yang sembarangan saja. Makanan tersebut harus yang pilihan dan memenuhi
bebagai persyaratan. Di samping membawa nasi dan berbagai menu makanan seperti
rendang, gulai ikan, goreng ikan, ikan bakar, sup, dendeng dan kaliyo jengkol,
ada juga penganan ringan serta buah-buahan. Kemudian menu berbuka puasa
diwajibkan cende (bubur beras yang dibuat bulat) atau konji (kolak), dan
agar-agar. Ada juga yang membawa kue-kue beking (sejenis bolu) dan lemang pulut
dengan tapai ketan.
Tidak hanya
ragam makanan yang harus dipersiapkan, tetapi bahan dan kualitasnya harus yang
terbaik. Apabila membawa ikan bakar atau ayam bakar, maka ikan dan ayam
tersebut haruslah yang terbesar.
2.
Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan disana
dinamakan Matrilineal yaitu hubungan keturunan yang diambil dari garis
keturunan ibu. Tidak hanya di Pariaman, dalam sistem kekerabatan matrilinial di
Minangkabau, pihak keluarga ayah tidak banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan
yang dilaksanakan dalam lingkungan keluarga . Ada beberapa nama-nama suku yang
ada disana dan tentunya berasal dari ibu seperti Tanjung, Koto, Piliang,
Jambak, Caniago, Sikumbang, dll.
3.
Pewarisan harta pusaka
Warisan dan tanah pusaka
semua diturunkan pada pihak wanita. Sedangkan laki-laki tidak memiliki hak
didalamnya. Tetapi lain halnya jika ada seorang laki-laki ingin memanfaatkan
tanah pusaka milik saudara perempuannya contohnya bisa dilakukan dengan cara
menanami tanaman palawija (ubi, kacang, coklat, kopi jagung), hasilnya bisa
dimanfaatkan olehnya tetapi tanah bukan menjadi hak miliknya. Dan satu hal jika
saudara perempuannya ingin meminta sebagian hasil dari tanaman (berupa uang),
saudara laki-laki tersebut berkewajiban untuk memberikan.
4.
Sebutan / cara memanggil untuk sanak keluarga Panggilan
untuk keluarga ayah dan ibu memiliki beberapa perbedaan seperti:
·
Sebutan untuk paman : Kakak atau adik dari pihak
ibu (paman) disebut mamak. Ada beberapa sebutan diantaranya mak’adang (untuk
paman yang paling tua), mak’andah (paman yang paling pendek tubuhnya),
mak’uniang (paman yang berkulit kuning), mak’etek(paman yang paling kecil),dll.
Sedangkan dari pihak ayah (semua sama sebutannya yaitu apak disertai dengan namanya
Sedangkan dari pihak ayah (semua sama sebutannya yaitu apak disertai dengan namanya
·
Sebutan untuk isteri paman : Panggilan untuk
isteri paman dari pihak ibu disebut mintuo, sedangkan dari pihak ayah bisa kita
panggil etek.
5.
Gelar laki-laki yang sudah menikah
Laki-laki yang berasal dari
Pariaman ketika susah menikah, lantas ia akan mempunyai nama gelar. Gelar
tersebut berasal dari ayah. Beberapa gelar diantaranya Sutan, Bagindo, dan
Sidi. Keluarga dari isteri mereka harus memanggil dengan gelar tersebut.
6.
Pesta Tabuik
Pesta Tabuik merupakan tradisi
masyarakat Pariaman dalam memeriahkan tahun baru Islam dan digelar selama 10 hari
dengan puncaknya disaat matahari terbenam, kedua tabuik dibuang kelaut dibawah
suatu upacara yang meriah. Tabuik adalah sebuah benda berbentuk beranda
bertingkat tiga yang terbuat dari kayu, rotan dan bambu. Berat Tabuik kira-kira
sekitar 500 kilogram dengan ketinggian 15 meter.
Pada prinsipnya orang minang
mengklasifikasikan adat menjadi empat macam yakni adat nan sabana adat (adat
sebenar adat), adat nan diadatkan(adat yang diadatkan), adat nan taradat (adat
yang beradat) dan adat istiadat.
Pada umumnya bajapuik (dijemput)
merupakan tradisi yang dilakukan oleh orang minang dalam prosesi adat
perkawinan, karena dalam sistem matrilineal posisi suami (urang sumando)
merupakan orang datang. Oleh karena itu, datang karano dipanggia – tibo karano
dianta diwujudkan kedalam bentuk prosesi bajapuik dalam perkawinan. Namun, di
pariaman prosesi ini diinterpretasikan kedalam bentuk tradisi bajapuik, yang
melibatkan barang-barang yang bernilai seperti uang. Sehingga kemudian dikenal
dengan uang japuik, agiah jalang dan uang hilang.
Secara teori tradisi bajapuik
ini mengandung makna saling harga menghargai antara pihak perempuan
dengan pihak laki-laki. Ketika laki-laki dihargai dalam bentuk uang japuik,
maka sebaliknya pihak perempuan dihargai dengan uang japuik yang dilebihkan
atau dinamakan dengan agiah jalang. Kabarnya, dahulu kala, pihak laki-laki akan
merasa malu kepada pihak perempuan jika nilai agiah jalangnya lebih rendah
dairpada nilai uang japuik yang telah mereka terima, tapi sekarang yang terjadi
malah sebaliknya. Makna saling menghargai inilah yang menjadi prinsip dasar
dari tradisi bajapuik.
Namun, dalam realitasnya yang
terjadi terdapat jurang yang tajam antara teori dan prakteknya. Tradisi yang
dilaksanakan oleh masayarakat hingga kini sudah jauh berbeda dengan prinsip
dasarnya. Jika sebelumanya nilai agiah jalang melebihi uang japuik, maka dalam
prakteknya sekarang nilai agiah jalang malah lebih rendah dari pada nilai uang
japuik. Bahkan dalam perkembangnya muncul pula istilah yang disebut dengan uang
hilang (uang dapur). Uang hilang ini merupakan pemeberian uang atau barang oleh
pihak perempuan kepada pihak laki-laki, yang sepenuhnya milik laki-laki yang
tidak dapat dikembalikan.
Uang hilang yang sudah diberikan
kepada pihak laki-laki tidak dapat dikembalikan, apapun yang terjadi baik pada
masa pra nikah maupun pasca nikah. Pihak perempuan tidak dapat menuntuk
pengembalian, jika pihak laki-laki membatalkan dan mengambil uang hilang.
Sedangkan uang japuik, dimana
secara hukum adat, apabila ikatan pertunangan dibatalkan oleh salah satu pihak,
maka pihak yang membatalkan ikatan pertunangan diharuskan membayar dana sebesar
uang japuik atau disebut juga dengan lipek tando (uang denda).
Fakta dilapangan mencatat
bahwasanya perbedaan antara uang japuik dan uang hilang semakin samar, sehingga
masyarakat hanya mengenal uang hilang (uang dapur) dalam tradisi bajapuik.
Bisanya uang hilang ini digunakan oleh pihak laki-laki-untuk membiaya resepsi
pernikahan, seperti untuk biaya makananan, biaya pelaminan, tenda dan perangkat
hiburan dll. Disamping itu, sebagian kecil disisihkan untuk membeli perhiasan
untuk agiah jalang sebagai barang yang akan diberikan kepada pihak
perempuan dalam prosesi manjalang.
Semakin tinggi status sosial
seseorang, maka semakin banyak biaya resepsi pernikanya. Dengan kondisi
tersebut pada akhirnya status sosial dan status pendidikan mempengaruhi jumlah
uang hilang yang akan diterima oleh pihak laki-laki. Sayangnya fenomena ini
semakin berkembang dalam tradisi bajapuik, sehingga tak mengherankan jika
seorang yang status sosialnya tinggi akan dinilai dengan nilau uang hilang yang
tinggi.
Disisi lain, tradisi bajapuik
ini dinggap tidak bertentang dengan ajaran dalam islam yang mengaharuskan
laki-laki membayar mahar kepada perempuan. Disamping melaksanakan tradisi
bajapuik yang dianggap hanya sebagai hadiah perkawinan, masyarakat pariaman
tetap membayar mahar sesuai dengan ajaran islam.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kesimpulan
yang dapat diambil adalah disetiap daerah masih ada berlaku hukum adat walaupun
sudah sedikit memudar dikalangan masyarakat. Tp masih ada yang menggunakan
hukum adat tersebut. Seperti didaerah Pariaman yang sampai sekarang masih
memakai hukum adat :
·
Pernikahan
·
Sistem Kekerabatan
·
Pewarisan harta pusaka
·
Sebutan / cara memanggil untuk sanak
keluarga
·
Gelar laki-laki yang sudah menikah
·
Pesta Tabuik
B. Saran
Dengan melihat kesadaran yang masih
melestarikan adat nya ini, sebaiknya didaerah lain pun ikut meniru. Dengan cara
terus membudayakan adatnya dan tidak pernah melupakan hukum adat didaerahnya.
Kesadaran masyarakat sangat dibutuhkan
untuk pelestarian adat kita. Agar ciri khas bangsa kita tetap terpandang dimata
dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar